Rabu, 14 Maret 2012

Apa Ahlussunnah Waljamaah itu?

Apa  yang dimaksud dengan akidah Ahlus Sunnah Waljamaah dan siapakah golongan Ahlus Sunnah Waljamaah ?

Akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah yang diyakini oleh Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya, yang saat itu dikenal dengan akidah Islamiyah.
Sedang golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang berpegang dengan apa-apa yang diyakini dan dikerjakan oleh Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya.
Dasar mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :

الفرقة الناجية : هى ما انا عليه واصحابى

“ Golongan yang selamat dan akan masuk surga adalah golongan yang berpegang dengan
 apa-apa yang aku kerjakan bersama sahabat-sahabatku.”
 

Kamis, 01 Maret 2012

KEUTAMAAN SHADAQAH

 
Secara harfiyah, shadaqah berasal dari kata shadaqa yang artinya benar. Shadaqah adalah pemberian atau perlakukan baik dari seorang muslim kepada orang lain secara sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlahnya sebagai bentuk kebajikan dalam rangka mengharap ridha Allah Swt. Dari penjelasan ini, dapat kita pahami bahwa shadaqah sebagai bukti kebenaran iman dalam berbagai bentuk perbuatan baik, hal ini karena iman harus selalu dibuktikan dengan amal shaleh atau amal yang baik sehingga setiap kebaikan yang dilakukan seorang muslim adalah shadaqah, Rasulullah Saw bersabda:

كُلُّ مَعْرُوْفٍ صَدَقَةٌ
“Tiap perbuatan baik adalah Shadaqah” (HR. Baihaqi)
     Shadaqah menjadi bukti dari kebenaran iman seseorang, maka setiap kita yang telah mengaku sebagai muslim harus bershadaqah sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing. Bahkan, melakukannya harus sesegera mungkin dalam arti jangan suka ditunda-tunda. Hal ini karena bisa jadi kita tidak sempat lagi bershadaqah karena sudah wafat, apalagi soal kapan kita mati sama sekali tidak ada diantara kita yang mengetahuinya.

      Ada banyak kisah tentang bagaimana para sahabat berlomba-lomba dalam berhadaqah. Diantaranya, suatu ketika Rasulullah saw mengumpulkan para sahabat di suatu tempat, tidak semua sahabat tahu untuk maksud apa mereka dikumpulkan. Ternyata Rasulullah Saw menyatakan bahwa kita harus berjuang dan perjuangan itu memerlukan dana. Maka sahabat yang membawa uang memberikan uangnya di tengah-tengah majelis, sedangkan yang tidak membawa uang mengatakan apa yang mau mereka berikan, bahkan sampai ada yang mengatakan mau memberikan seperempat, setengah, sepertiga, dan sebagainya. Semua memberikan dan semua menyatakan apa yang mau mereka berikan. Tapi Nabi juga memperhatikan, ada satu sahabat yang Nabi tahu bahwa hartanya banyak tapi ia belum memberikan dan belum mengatakan sesuatu. Beliau kemudian bertanya: "Wahai Abu Bakar, semua sahabat telah memberikan harta atau mengatakan apa yang mereka mau  berikan, mengapa engkau belum?".
      Sebenarnya Abu Bakar mau memberikan, tapi ia tidak mau mengatakan, namun karena Rasulullah saw bertanya iapun menjawab: "Saya akan memberikan semua uang yang saya miliki?".

     Mendengar hal itu, Rasulullah saw agak terkejut  padahal yang dituntut tidak sebanyak itu, beliau kemudian bertanya: "Untuk kamu sekeluarga apa bila semua hendak disedekahkan?".

      Abu Bakar kemudian menjawab:  "Untuk kami cukup Allah dan Rasul-Nya".

      Ini menunjukkan sikap mental dari Abu Bakar yang sangat optimis, apalagi ia seorang pedagang yang sukses sehingga bila hartanya habis, besok ia masih bisa berdagang dan memperoleh keuntungan, sedangkan modal kepercayaan orang lain jauh lebih penting daripada modal uang.
     Keharusan untuk segera bershadaqah juga ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam haditsnya yang lain sehingga jangan sampai seseorang baru mau shadaqah ketika ruh sudah sampai di tenggorokan, beliau bersabda:

قَالَ رَجُلٌ,  يَارَسُوْلَ اللهِ, اَيُّ الصَدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ اَنْْ تَصَدَّقَ وَاَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلاَ تُمْهِلْ حَتَّى اِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُوْمَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا وَ لِفُلاَنٍ كَذَا
“Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw: "shadaqah yang bagaimana yang paling besar pahalanya?". Nabi Saw menjawab: "saat kamu shadaqah, hendaklah kamu sehat dan dalam kondisi pelit serta saat kamu takut melarat tapi mengharap kaya. Jangan ditunda sehingga ruhmu di tenggorokan baru kamu berkata untuk Fulan sekian dan untuk Fulan sekian” (HR. Bukhari).
      Bershadaqah bahkan tetap harus dilakukan atau diberikan meskipun kepada keluarga yang membenci kita, ini menunjukkan bahwa shadaqah yang kita lakukan adalah karena Allah Swt, bukan karena kepada siapa kita harus bershadaqah, Rasulullah Saw bersabda:
 أَفْضَلُ الصَدَقَةِ عَلَى ذِى الرَّحِمِ الْكَاشِحِ
“Shadaqah yang paling utama adalah yang diberikan kepada keluarga dekat yang bersikap memusuhi” (HR. Thabrani dan Abu Daud).

     Shadaqah memiliki banyak keutamaan dengan nilai yang besar dalam pandangan Allah Swt dan Rasul-Nya, diantaranya:

    Pertama, Shadaqah dan berinfak di jalan Allah swt yang dikerjakan oleh setiap muslim akan diganjar Allah 10 kali lipat sampai 700 kali lipat. Allah swt berfirman:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir, seratus biji, Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui" (QS. Al-Baqarah:261).

      Shadaqah termasuk ibadah yang bermanfaat bagi si pelaku dan objek yang menerima Shadaqah tersebut. Shadaqah itu tidak mengurangi harta, bahkan harta yang dishadaqahi akan membawa berkah. Hal itu dipraktekan oleh Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah saw itu senang bershadaqah tetapi beliau tidak mau menerima shadaqah. Banyak orang masuk Islam karena pemberian dari Rasulullah saw. Tetapi Annas bin Malik melaporkan bahwa mereka masuk Islam di pagi hari disebabkan oleh dunia, di sore hari mereka telah berubah, dan justru mengeluarkan hartanya di jalan Allah SWT.

    Kedua, dapat menghindarkan seseorang dari Neraka meskipun hanya sedikit yang bisa dishadaqahkannya, bukan karena kikir tapi memang ia tidak mampu bershadaqah dalam jumlah yang banyak, bahkan seandainya ia tidak punya apa-apa iapun bisa melakukannya dengan berbicara yang baik, Rasulullah Saw bersabda:
إِتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَاِنْ لَمْ تَجِدُوا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Jauhilah neraka walaupun hanya dengan (Shadaqah) sebiji kurma, kalau kamu tidak menemukan sesuatu, maka  dengan omongan yang baik” (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).
     Ketiga, memperoleh pahala yang besar, bahkan bila shadaqahnya dalam bentuk wakaf, maka pahalanya bisa terus mengalir meskipun pelakunya sudah wafat, Rasulullah Saw bersabda:
اِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apabila anak Adam wafat, putuslah amalnya kecuali tiga hal, yakni Shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shaleh yang mendo'akannya”. (HR. Muslim)

     Keempat, dapat mendatangkan rizki sebagai balasan langsung dari Allah swt atas shadaqah yang dikeluarkannya. Rasulullah Saw bersabda:
اِسْتَنْزِلُوا الرِّزْقَ بِالصَدَقَةِ
“Turunkanlah (datangkanlah) rezkimu (dari Allah) dengan mengeluarkan Shadaqah”. (HR. Baihaqi).

      Kelima, Shadaqah menjadi naungan bagi yang melakukannya pada hari kiamat, sehingga kebaikan yang dilakukan seseorang dalam hidupnya di dunia ini akan menjadi penolong baginya dalam kehidupan di akhirat kelak. Rasulullah Saw bersabda:
ظِلُّ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَدَقَتُهُ
“Naungan bagi seorang mu'min pada hari kiamat adalah shadaqahnya” (HR. Ahmad).
     Nabi Muhammad saw mengingatkan bahwa manusia senang membanggakan hartanya, sementara yang dapat ia nikmati hanya sedikit; barang yang dipakai akan usang, makanan yang dimakan menjadi sari dan kotoran, dan yang dishadaqahkan di jalan Allah, itu saja yang tertinggal dan bermanfaat (HR. Muslim).
Alangkah beruntungnya orang yang mengerti terhadap amanat harta yang diembanya, sehingga dia tidak berkeberatan untuk menyalurkannya di jalan Allah, itulah harta yang berkah.

PENGERTIAN SYI'AH

sebelum kita membahas mengenai Syi’ah dan aneka ragam aliran yang ada di dalamnya, ada baiknya --secara global-- kita mengetahui terlebih dahulu definisi agama dan Islam.

Agama

Tidak diragukan lagi bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat dengan sesama jenisnya. Di dalam hidup bermasyarakat tersebut sangat sering terjadi aktifitas, seperti makan, minum, tidur, berbicara, berkorelasi dan lain sebagainya yang secara lahiriah berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Akan tetapi, pada hakikatnya semua aktifitas tersebut sangat berhubungan erat antara yang satu dengan lainnya. Semua aktifitas tersebut memiliki aturan dan ketentuan tertentu yang menyebabkan setiap aktifitas tidak layak dikerjakan kecuali dalam ruang lingkup yang sesuai dengan eksistensinya.

Apa yang diinginkan oleh manusia dengan semua aktifitas itu? Jawabannya sangat mudah dan jelas. Ia ingin memiliki sebuah kehidupan yang terhormat bagi dirinya dan --sebisa mungkin-- ia ingin menggapai semua tujuan hidup yang telah dicanangkannya. Untuk merealisasikan hal itu, ia akan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi menikmati hidup yang lebih lama.

Dari sinilah, supaya tidak terjadi gesekan-gesekan dengan masyarakatnya yang dapat memngundang kebinasaannya, ia akan selalu melaksanakan semua aktifitasnya sesuai dengan hukum dan undang-undang yang telah disepakati oleh masyarakatnya, baik undang-undang tersebut adalah buatan mereka sendiri atau hasil menyontek dari orang lain. Pokoknya, ia akan memilih sebuah metode khusus yang sesuai dengan keinginannya dalam menjalani kehidupan ini.

Undang-undang yang telah disepakati tersebut pasti dilandasi oleh satu keyakinan mendasar yang dijadikannya sebagai pegangan utama dalam hidupnya. Itu adalah pandangan dunianya. Orang yang meyakini bahwa dunia ini hanyalah materi dan manusia adalah makhluk materi belaka yang dengan ditiupkannya ruh ke dalam tubuhnya, ia akan hidup dan dengan dicabutnya kembali ruh tersebut, ia akan binasa, segala usahanya akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan materi ini belaka. Dan sebaliknya, orang yang meyakini bahwa di samping kehidupan materi ini, manusia juga akan memiliki kehidupan kekal di alam akhirat dan ia akan mendapat balasan yang setimpal di sana, ia akan berusaha untuk memenuhi kehidupan materi ini dan menyelamatkan diri dari azab Ilahi di alam sana. Dengan kata lain, ia akan berusaha untuk memperoleh kebahagiaan di alam materi ini dan di alam kiamat kelak.

Gabungan antara pandangan dunia dan undang-undang yang sesuai dengan pandangan dunia ini disebut agama. Dan jika agama itu memiliki aliran-aliran cabang yang tentunya akan saling berbeda antara satu dengan lainnya, aliran tersebut dinamakan mazhab. Seperti Syi’ah dan Ahlussunnah dalam agama Islam dan Protestan dan Katolik dalam agama Kristen.

Dengan penjelasan global di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa setiap manusia --meskipun ia tidak meyakini adanya Tuhan-- pasti memiliki sebuah "agama" yang akan dipraktekkan dalam kehidupannya sehari-hari. Dan tentunya, orang yang memilih agama yang telah ditentukan oleh Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, niscaya ia akan bahagia. Sementara orang yang memilih selain agama tersebut, akibatnya akan fatal, baik di dunia ini maupun di alam akhirat kelak.

Islam

Secara lenguistik, Islam adalah pasrah terhadap sesuatu. Arti teminologisnya tidak jauh berbeda dengan arti lenguistiknya. Dan Al Quran menamakan agama yang telah ditentukan oleh Allah dengan Islam, karena pokok ajarannya adalah kepasrahan manusia kepada segala ketentuan dan undang-undang yang telah ditentukan oleh-Nya. Konsekuensinya, ia tidak akan menyembah selain Tuhan yang Esa.

DEFINISI



A.    SECARA ETIMOLOGI :

Berasal dari kata: اَلْأَتْبَاءُ: Pengikut,  اَلْأَنْصَارُ: Penolong اَلْخَاصَّةُ: Teman dekat

Ad Dzahiri berkata:

وَالشِّيْعَةُ أَنْصَارُ  الرَّجُلِ وَأَتْبَاعُهُ, وَكُلُّ قَوْمٍ اجَتَمَعُوا عَلَى أَمْرِ فَهْمِ شِيْعَةٍ

 “Syi’ah adalah penolong dan pengikut seseorang, dan setiap kaum yang berkumpul atas suatu urusan, maka mereka disebut Syi’ah.” [1]

Az Zubaidi berkata:

كُلُّ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا عَلَى أَمْرٍ فَهُمْ شِيْعَةٌ, وَكُلُّ قَوْمٍ عَاوَنَ إِنْسَانًا وَتَحْزُبُ لَهُ فَهُوَ شِيْعَةٌ لَهُ, وَأَصْلُهُ مِنَ الْمُشَيَعَةِ وَهِيَ لِمُطَاوَعَةِ وَالمُتَابَعَةِ

“Setiap kaum yang berkumpul atas suatu urusan, maka mereka disebut Syi’ah, dan setiap kaum yang menolong manusia dan berkelompok kepadanya disebut Syi’ah baginya. Aslinya adalah dari kata الْمُشَايَعَةُ (yang berarti) ketundukan dan mengikuti.” [2]
 
PEMAKAIAN NAMA SYI’AH DI DALAM AL QUR’AN AL KARIM

Kalimat Syi’ah dan pecahannya yang bermakna secara bahasa, yang berlaku di dalam Al Qur’an al Karim adalah:

1.       Yang bermakna firqah (kelompok) atau ummat atau jama’ah (kumpulan) manusia

Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ َلنَنْزِعَنَّ مِنْ كُلِّ شِيْعَةٍ أَيُّهُمْ أَشَدُّ عَلَى الرَّحْمَنِ عِتِيًّا

“Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap Syi’ah siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Ar Rahman (Yang Maha Pemurah).” (QS. Maryam: 69).

Maksud dari ‘tiap-tiap Syi’ah’ adalah “Dari tiap kelompok Jama’ah dan ummat”.

2.       Yang bermakna firqah

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اَّلذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah dien-Nya dan mereka menjadi Syi’ah tidak ada tanggung jawabmu sedikitpun terhadap mereka.” (QS. Al An’am: 159). Maksud dari “Mereka menjadi Syi’ah” adalah “Golongan”.[3]

3.       Bermakna Serupa

Firman Allah Ta’ala:

وَلَقَدْ أَهْلَكْنَآ أَشْيَاعَكُمْ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

“Dan sungguh telah Kami binasakan “As Syi’ah” dari kalian, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran.” (QS. Al Qomar: 51) Maksud dari “As Syi’ah dari kalian” adalah “Yang serupa dengan kalian dalam kekufuran, dari ummat-ummat yang terdahulu”.[4]

4.       Bermakna pengikut, teman dekat, dan penolong

Allah Ta’ala berfirman:

وَدَخَلَ الْمَدِينَةَ عَلَى حِينِ غَفْلَةٍ مِّنْ أَهْلِهَا فَوَجَدَ فِيهَا رَجُلَيْنِ يَقْتَتِلاَنِ هَذَا مِن شِيعَتِهِ وَهَذَا مِنْ عَدُوِّهِ فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِي مِن شِيعَتِهِ عَلَى الَّذِي مِنْ عَدُوِّهِ فَوَكَزَهُ مُوسَى فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِينٌ

“Maka didapatinya di dalam kota dua orang laki-laki yang berkelahi, yang seorang dari Syi’ahnya (bani isail) dan seorang lagi dari musuhnya (kaum Fir’aun), maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya, lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu.”       (QS. Al Qashash: 15)[5]


B.     DEFINISI SECARA TERMINOLOGI (ISTILAH)

Dalam mendefinisikan Syi’ah para ulama berbeda pendapat:

1.       Setiap orang yang berwali kepada Ali dan Ahli Baitnya

Sebagaimana perkataan Al Fairuz Abadi:

“Sungguh nama ini telah umum atas setiap orang yang berwali kepada Ali dan Ahli Baitnya sehingga jadilah nama khusus bagi mereka.” [6]

2.       Menurut kitab Al-Imam Zaid karya Abdul Aziz bin Ishaq Al-Baghdadiy, yang dimaksud dengan istilah Syi’ah ialah segolongan kaum muslimin yang mencintai Imam Ali bin Abi Thalib secara berlebih-lebihan, yang juga lazim dikenakan pada kaum Rawafidh, salah satu sekte syi'ah

3.       Mereka adalah orang-orang yang menolong Ahli Bait dan meyakini Imamahnya Ali, dan khilafah orang yang sebelum beliau adalah mendhalimi beliau.

4.       Mereka adalah orang-orang yang mengutamakan Ali atas khalifah Ar Rasyidin sebelumnya radhiyallahu ‘anhum, dan ia berpendapat bahwa Ahlul Bait adalah orang yang paling berhak menjadi khalifah.

C.    PENDISKUSIAN TENTANG PENDAPAT-PENDAPAT DI  ATAS

-          Adapun definisi yang pertama : Itu tidak benar, karena Ahlus Sunnah berwali (berloyal) kepada Ali dan Ahli Baitnya dan mereka menyelisihi Syi’ah

-          Adapun definisi yang kedua : Itu berseberangan dengan sebagian pendapat Syi’ah yang membenarkan kekhalifahan dua syaikh (Abu Bakar dan Umar), dan sebagian mereka ada yang berwali pada Utsman, seperti pengikut Zaidiyyah, seperti yang telah disebutkan oleh Ibnu Hazm.[7]

-          Definisi yang ketiga tidak benar juga, karena berseberangan dengan sebagian pendapat Syi’ah yang berlepas diri dari Utsman, sebagaimana ungkapan sya’ir



بَرَأْتُ إِلَى اْلإِلَهِ مِنْ اِبْنِ أَرْوَى     وَمِنْ دِيْنِ اْلخَوَارِجِ أَجْمَعِِيْنَا

وَمِنْ عُمَرَ بَرَأْتُ وَمِنْ عَتِيْقِ        غَدَاةَ دَعَى أَمِيْرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ

“ٍSaya berlepas diri kepada Allah dari Ibnu ِArwa

 dan dari agama Khawarij,

 dan dari Umar dan ‘Atiq

yang disebut sebagai amirul mukminin.”

Adapun yang rajih (benar) dari semua definisi di atas adalah definisi yang keempat, karena di dalamnya bertepatan dengan pendefinisian tentang Syi’ah, seperti kelompok yang mempunyai pemikiran-pemikiran dan ideologi.[8]



[1] . Tahdzibul Lughah : 3/61

[2] . Tafsir Al Qur’an  Al ‘Adzimu : 3/131

[3] . Tafsir Al Manar : 8/214

[4] . Jami’u Al Bayan : 27/112

[5] . Tahdzib Al Lughah : 3/63

[6] . Al Qamus Al Muhith : 3/49

[7] . Al Fashiu: 4/92

[8] . Al Adyan Wa Al Firaq Wa Al Madzahib Al Mu’ashirah: 145

Share This