Sabtu, 28 Januari 2012

DOA MASUK & KELUAR KAMAR MANDI

MASUK KAMAR MANDI

اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنَ اْلخُبُثِ وَاْلخَبَائِثِ
ALLOHUMMA INNIII A’UDZUBIKA MINAL KHUBUTSI WAL KHOBAAA-ITS.
Ya Alloh aku mohon perlindunganMu dari godaan Syetan
رواه البخاري135 و مسلم563
(الأذكار ص27)
(HR. ِAl-Bukhori no.135 dan Muslim no.563)
kitab Al-Adzkaar An-Nawawy halaman 38
19. KELUAR KAMAR MANDI
DOA KELUAR KAMAR MANDI 01
غُفْرَانَكَ
GHUFROONAKA
saya mohon ampunanMu
رواه الترمذي 7
وأبو داود 28
ابن ماجه 297
وأحمد 24063
والدارمي 677
(HR. At-Turmudzi no.7 Abu Dawud no.28 & ibnu Majah no.297 Ahmad no.24063 & Ad-Daarimy no.677 )

DOA KELUAR KAMAR MANDI

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي اْلأَذَى وَعَافَنِيْ
AL_HAMDULILLAHIL LADZII ADZHABA ‘ANNIL ADZAA WA ‘AAFANII
Segala puji bagi Alloh yang telah menge-luarkan kotoran dariku dan selalu mengampuniku.
رواه البخاري297
( (HR. Al-Bukhori no.297
( رواه النسائي في كتاب عمل اليوم ص42 )
(HR. An Nasa’i pada kitab 'Amal Al-Yaum halaman 42 )

Kamis, 26 Januari 2012

Bagaimana hukum bila ada wanita yg sholat jum'at?

Assalamualaikum.
  • Satria Marawis >>Bila ada wanita sholat jamat,sah sholatnya,nggk usah sholat dzuhur lagi,tp wanita tdk trmsk diantara orang2 yang berstatus pengabsah sholat jumat.
  • Mbah Jenggot II >> Wa`aliakum salam.Bila Wanita sholat jum`at sah.
  • لجنة بحث المسائل Kenapa wanita tidak mengerjakan shalat Jumat ?
    Karena ada sebuah Hadits:
    AL JUMU'ATU HAQQUN WAAJIBUN 'ALAA KULLI MUSLIMIN FII JAMAA'ATIN ILLAA ARBA'ATAN MAMLUUKUN WA IMRA'ATUN WA SHABIYYUN WA MARIIDHUN
    Shalat jumat adalah haq yang wajib atas setiap orang Islam, kecuali empat:
    - hamba
    - wanita
    - anak-anak
    - orang sakit
    (sumber: Bulughul Maram / Subulussalaam 2/57) 
    Wallaahu A'lam

  • Sedot Wc >>Perempuan solat jum at hukumnya afdhol dan memang ga usah sholat duhur.Sumber :kitab Bughyah hal 76.
    YAJUZU LIMAN LA TALZAMUHUL JUM ATI KA ABDIN WA MUSAFIR WA IMROATI AN YUSOLLIYAL JUM ATA BADALAN ANIL DUHRI WAYUJIUHU BAL HIYA AFDOLU LIANNAHA FARDU AHLIL KAMALI WALA TAJUZU IADA TUHA BA'DA HAISU KAMULAT SURUTUHA.

  • لجنة بحث المسائل Kami hanya menambahi :
    Dalam kitab Minhaajul Qawiim/ Hawaasyi Madaniyyah 2/57 diterangkan:
    WA MAN SHAHHAT DHUHRUHUU MIMMAN LAA TALZAMUHUL JUMU'ATU SHAHHAT JUM'ATUHUU FAYATAKHAYYARU BAINA FI'IL MAA SYAA`A MINHUMAA LAAKINIL JUMU'ATU AFDHALU LI ANNHAA SHALAATU AHLIL KAMAAL
    Orang yang shah melakukan shalat Dhuhur dari orang yang tidak berkewajiban melakukan shalat Jumat, maka shah shalat Jumatnya. Dia boleh memilih dari keduanya (boleh shalat Dhuhur, dan boleh pula shalat Jumat), namun yang lebih utama adalah shalat Jumat.... 

  • Masaji Antoro >>Wa'alaikumsalam

    ALASAN WANITA TIDAK WAJIB JUMAT
    1. Berdasarkan dalil nash berupa hadits
    2. Terjadi percampuran dengan laki-laki 
  •  
    الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة عبد مملوك أو امرأة أو صبي أو مريض
    __________
    (2) رواه النسائي عن حفصة رضي الله عنها، ورواه أبو داود عن طارق بن شهاب بلفظ «الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة: عبد مملوك، أو امرأة، أو صبي، أو مريض» (نيل الأوطار:226/3). 
     
  • “Shalat Jumat kewajiban bagi setiap orang muslim secara berjamaah kecuali bagi hamba sahaya, wanita, anak kecil dan orang sakit” (HR. An-Nasaa-I dari Hafshah, Abu Daud dari Thaariq Bin Syihab Nail al-Authaar III/226) 

  • ولا تجب علي المرأة لما روى جابر قال " قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فعليه الجمعة الا على امرأة أو مسافر أو عبد أو مريض حديث جابر رواه أبو داود والبيهقي" ولانها تختلط بالرجال وذلك لا يجوز)
     
  • Shalat Jumat tidak diwajibkan bagi wanita berdasarkan hadits riwayat shabat Jabir ra, ia berkata “Rasulullah shallaalu alaihi wa sallam bersabda :
    ”Barang siapa iman kepada Allah dan hari akhir maka wajib baginya shalat jumat kecuali bagi wanita, orang bepergian, hamba dan orang sakit” (HR. Abu Daud dan Baehaqi) 
    Dan karena shalat jumat bagi wanita akan mengakibatkan terjadi IKHTILAATH (percampuran) dengan kaum laki-laki.
    alMajmuu’ Syarh alMuhaddzab IV/484 

  • (الثالث) الذكورة فلا جمعة على امرأة لما روينا من الخبرين 
     
  • 3. Bagi orang perempuan, maka tidak diwajibkan shalat jumat berdasarkan dua hadits diatas.
    Syarh alWajiiz 4/603 
    Namun demikian SHOLAT JUMAT bagi WANITA sudah cukup sebagai pengganti dari sholat DHUHUR, bahkan bagi wanita yang tidak menimbulkan fitnah (tidak cantik, tidak banyak aksi/kakean gaya, kemenyek, tidak bersolek) sebaiknya menghadiri sholat jumat.... 

  • يَجُوْزُ لِمَنْ لاَ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ كَعَبْدٍ وَمُسَافِرٍ اَوْ اِمْرَاَةٍ يُصَلِّى الْجُمْعَةَ بَدَلاً عَنِ الظُّهْرِ وَيُجْزِئُهُ بَلْ هِيَ اَفْضَلٌ ِلاَنَّهَا فَرْضٌ ِلاَهْلِ الْكَمَالِ وَلاَ تَجُوْزُ اِعَادَتُهَا بَعْدُ حَيْثُ كَمُلَتْ شُرُوْطُهَا (بغية المسترشدين فى باب الصلاة الجمعة, ص 78-79 . و فى المهذب وموهبة ذى الفضل) 
     
  • Di perkenankan bagi wanita yang tidak berkewajiban jum’at seperti budak, musafir, dan wanita untuk melaksanakan shalat jum’at sebagai pengganti Dzuhur, bahkan shalat jum’at lebih baik, karena merupakan kewajiban bagi mereka yang sudah sempurna memenuhi syarat dan tidak boleh diulangi dengan shalat Dzuhur sesudahnya, sebab semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi secara sempurna. (Bughyah al-Mustarsyidin bab shalat jum’at hal.78-79, al-Muhadzab, dan Mauhibah Dzi al-Fadhal). 
    Wallaahu A'lamu Bis showaab

Pergertian Shalat Jumat

Sholat Jum'at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.
B. Hukum Sholat Jum'at
Shalah Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Dalil Al-qur'an Surah Al Jum'ah ayat 9 :
" Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat
1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum'at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum'at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
D. Ketentuan Shalat Jumat
Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.
E. Hikmah Solat Jum'at
1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.
F. Sunat-Sunat Shalat Jumat
1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
Sumber : Buku Pelajaran Sekolah Agama Islam (mohon maaf kalau tidak ada dalil, kalau bisa bantu melengkapi/memperbaiki).

Sholat 5 Waktu itu Wajib Berjamaah di Masjid terutama bagi kaum Laki-Laki


Anda laki-laki baligh sholat sendirian di rumah/kantor sendirian? Wah anda harus menelaah perintah baginda Nabi sebagai berikut :
1. Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda (yanga artinya): “Kembalilah kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang di antara kalian adzan dan hendaklah orang yang paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya) di antara kalian mengimami kalian.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674, 1/465-466).

2. Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:
a. keadaannya yang buta,
b. tidak adanya penuntun yang mengantarkannya ke masjid,
c. jauhnya rumahnya dari masjid,
d. adanya pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e. adanya binatang buas yang banyak di Madinah dan
f. umurnya yang sudah tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.
Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid”. Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: “Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?” ia menjawab “benar”, maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah panggilan tersebut.”
Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i. Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakr untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.

Mengapa Kita Harus Shalat?



Pertanyaan tersebut akan menjadi sebuah pertanyaan yang klise dan tak bermakna bagi mereka yang meyakini bahwa akal adalah satu-satunya instrumen untuk menemukan kebenaran dan kebathilan, bagi mereka yang meyakini bahwa agama itu adalah sama dan walaupun terjadi perbedaan hanyalah sekedar perbedaan ekspresi dan cara semata, dan bagi mereka yang terbiasa memperjual-belikan hukum-hukum Allah dengan uang dan peluang. Bagi mereka semua sholat adalah sebuah ritualitas ibadah yang hanya membuang-buang waktu dan membodohi diri.
DR Hasan Hanafi, salah satu pelopor Islam Kiri, menjadi nara sumber dalam sebuah seminar besar yang dihadiri oleh banyak masyarakat. Saat waktu sholat dhuhur tiba, dia masih semangat berceramah di depan orang-orang banyak sampai tiba waktu shalat Ashar. Seorang hadirin bertanya kepadanya: “Maaf, Bapak Doktor, kenapa anda tidak sholat? Dia menjawab: “Kalau saya sholat maka anda dan kawan anda yang rugi. Tapi kalau saya tidak sholat maka Allah pun tidak akan merasa rugi karena Dia Maha Kaya”. Akhirnya penanya tersebut terdiam. Begitulah dia membodohi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Tapi bagi mereka yang meyakini bahwa hidup adalah sebuah perintah dan perjanjian, maka shalat bukan sekedar ritualitas tapi menjadi sebuah kebutuhan dan kewajiban yang harus dijalaninya dalam kondisi apapun sebagaimana disebutkankan dalam Al-Quran bahwa tujuan hidup kita adalah semata-mata untuk beribadah pada-Nya: “.. dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” (QS Adz- Dzaariyat: 56) Imam Ali menegaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah: “bahwa Aku akan memerintahkan mereka untuk menyembah Ku dan memanggilnya untuk beribadah kepada Ku”.
Sholat adalah ibadah yang harus dilakukan oleh seluruh anggota tubuh, baik anggota material maupun non material, baik yang dilakukan oleh pikiran dan hati seperti niat, ketulusan, khusyu’, tunduk, perasaan senantiasa diawasi dan lainnya; baik yang dilakukan oleh lisan seperti membaca syahadat, tasbih, tahmid, takbir, alfatihah dan lainnya; dan baik yang dilakukan oleh anggota tubuh lainnya seperti berdiri, ruku, sujud, duduk dan lainnya. Artinya bahwa sholat menuntut semua anggota tubuh kita baik yang sifatnya material ataupun non material terlibat dalam irama sholat. Dan apabila salah satu dari anggota badan tubuh tersebut tidak terlibat maka sholatnyapun menjadi cacat. Hal itu yang diungkapakan rasulallah dengan istilah almuflis fissholat (orang yang bangkrut dalam sholat), yaitu orang yang pikirannnya melayang-layang ketika sholat sehingga ada fase-fase yang seharusnya konsentrasi penuh malah menjadi terbagi-bagi. Dalam kondisi seperti ini wajar bila target dari sholat tidak tercapai.
Untuk mengukur sejauh mana sholat itu bisa memenuhi standar dan kriteria, maka hal tersebut bisa dilihat dari indikasi-indikasinya, hal itu diungkapkan dalam Al Quran: “dan lakukanlah sholat, sesungguhnya sholat itu bias mencegah kekejian dan kemungkaran” (QS Al-ankabut: 45). Dalam ayat lain disebutkan: “sesungguhnya manusia itu diciptakan dengan watak selalu berkeluh kesah, apabila dia ditimpa bencana maka dia ada dalam ketakutan dan apabila ia mendapatkan kebaikan maka dia lupa diri kecuali orang-orang yang suka sholat, yaitu orang-orang yang selalu menjaga sholatnya” (QS Al-Maarij: 19-23). Dan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra: suatu ketika Rasulallah saw menyebutkan kemudian beliau bersabda kepadanya: “barang siapa yang selalu melaksanakan sholat, maka dia akan mendapatkan cahaya, burhan (bukti yang kuat) dan keselamatan dan barang siapa yang tidak melaksanakan sholat maka dia tidak akan mendapatkan cahaya, burhan dan keselamatan dan dia akan hidup pada hari kiamat bersama Qorun, Firaun dan Ubay bin Kaab.”
Sesungguhnya Allah tidak sematamata memerintahkan sholat kecuali untuk kebaikan umatnya bahkan sholat itu sendiri menjadi pelipur lara dan penghubung diri dengan sang penciptanya. Hal itu diungkapkan dalam Al Quran: {wahai orang-orang yang beriman, mintalah bantuan - untuk memudahkan urusanmudengan kesabaran dan sholat} QS Al Baqoroh: 153, kemudian dipertegas lagi dalam ayat 45-46: {dan mintalah tolong dengan kesabaran dan sholat, karena sesungguhnya keduanya sangat besar bagi mereka yang khusyu dalam melaksanakan sholatnya, bagi mereka yang yakin akan bertemu Allah dan bagi mereka –yang yakin– bahwa mereka akan kembali kepada- Nya}. Dan hal itu dipertegas oleh rasulallah saw: “sesungguhnya aku mendapatkan ketenanganku dalam sholatku”. Hal-hal ini kemudian memberikan ilham bagi para sufi untuk menyimpulkan: “barang siapa yang ingin berbicara dengan Allah maka bacalah Al Quran dan barang siapa yang ingin diajak berbicara dengan Allah maka laksanakanlah sholat.
Di samping itu, sholat pun mengajarkan kepada kita hal-hal esensial bagi sebuah kehidupan yang dinamis, antara lain:
- Kedisiplinan. Hal itu bisa dilihat dari waktu-waktu yang telah ditentukan dan larangan untuk keluar dari waktu yang sudah ditentukan tersebut: {sesungguhnya sholat itu bagi orangorang beriman adalah kewajiban yang telah ditentukan} An Nisa: 103.
- Teratur. Hal itu nampak pada aturan sholat yang harus dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Semua tata cara itu harus berurutan dan dilakukan secara teratur dan tidak boleh dilakukan dengan acak. Pola yang mengajarkan kita untuk hidup teratur, terarah dan ter-manage.
- Kebersihan. Hal itu nampak dalam syarat-syaratnya, di mana untuk mendapatkan sholat syah harus dimulai dengan membersihkan diri seperti dengan wudhu/mandi membersihkan pakaian, membersihkan tempat sholat dan lainnya. Pola hidup yang bersih menjamin hidup sehat dan dinamis.
- Olah badan. Hal itu nampak dalam gerakan-gerakan sholat yang menyentuh semua organ tubuh, dari mulai kepala sampai kaki sehingga menurut sebuah penelitian barang siapa yang menjalankan sholat dengan baik dan teratur maka dia tidak akan kena penyakit apa pun karena sholat sudah mengatur pergerakan tubuh agar berjalan normal.
- Penghormatan. Hal itu nampak pada fase-fase penghormatan dari mulai posisi berdiri sampai posisi yang terendah dimana kondisi berada sebagai hamba yang tak berdaya dengan menundukkan kepala ke tanah.
- Bersosial. Hal itu nampak ketika sholat jumat atau sholat Ied dilaksanakan atau sholat fardu dilaksanakan di masjid dan secara berjamaah. Kebersamaan yang akan melahirkan jiwa sosial yang tinggi.
- Dan hal-hal positif lainnya.
Semua faktor positif ini tidak akan dicapai dan diraih bila kondisi dan cara sholat kita tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulallah. Sholat adalah sesuatu perintah yang harus sesuai dengan tujuannya: sabda rasulallah saw: “Sholatlah sebagaimana aku melaksanakan sholat.”
Sholat dengan urgensitasnya yang sangat vital dan penting bagi dinamika kehidupan umat islam telah terabaikan bahkan sebagian menganggapnya hanya buang-buang waktu sehingga wajar bila umat islam yang semestinya mempunyai naluri ethos kerja yang tinggi, mentalitas yang kuat dan karya yang padat tidak tercapai. Hal itu tidak lain karena kita telah meninggalkan pondasi utama dalam kehidupan kita, yaitu sholat.
Fenomena tersebut sangat nampak dalam kehidupan masyarakat di Timur Tengah sebut saja Mesir. Mereka terbiasa untuk melaksanakan sholat subuh pada waktu duha bahkan menjama’ sholat lima waktu dalam satu waktu, fenomena kemalasan yang sangat nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Maka wajar bila masyarakat Mesir masih berkutat dengan kemisikinannya. Dan tak jauh berbeda dengan masyarakat kita, mereka menjadi terbiasa meninggalkan sholat karena mereka dikejar setoran atau bentrok dengan jam kerja bahkan di beberapa instansi atau pabrik-pabrik menjalankan sholat dilarang karena akan menghambat produksi dan apabila mereka melaksanakannya maka akan mendapatkan sanksi yang bisa berujung pada pemecatan.
Sungguh ironis, sebuah mayoritas masyarakat dikendalikan oleh tekanan minoritas. Maka wajar bila seorang petinggi Israel berkata: “Orang-orang Arab (Muslim) tidak mungkin mengalahkan orang-orang Israel kecuali apabila jumlah orang yang sholat pada waktu shubuh sama dengan jumlah orang yang shalat pada waktu jum'atan”, bisakah? Wallahu a’lam bishawab. ***

MENGAPA KITA HARUS MEMBACA AL-QUR’AN ?




Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Apa kabar sahabat MQ ? Pastinya selalu luar biasa. Lama sudah kita tidak berinteraksi melalui media tulisan ini, Alhamdulillah setelah terbentuknya kepengurusan MQSU IT Telkom 2011/2012 kita dapat berjumpa kembali setelah sekian lama tidak bertemu dan saling berbagi ilimu. Untuk mengawali perjumpaan kita, kami ingin sedikit berbagi mengenai “Mengapa Kita Harus Membaca Alqur’an ?” karena di jaman yang serba moderen ini banyak saudara kita yang kurang mentadaburi Al-Qur’an.
Al – Qur’an adalah kalam (perkataan) Allah yang diwahyukan kepada Nambi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril.membacanya merupakan ibadah yang agung dan sumber ketenangan yang hakiki. Semakin banyak kita membaca Al-Qur’an akan semakin haus hati kita.Tidak pernah menjemukkan dan menjenuhkan, kevuali bagi mereka yang hatinya lalai.
Di dalam Al-Qur’an terdapat hidayah dan kabar gembira bagi orang yang bertakwa, serta sebagai penawar, obat dan rahmat bai kaum beriman. Barangsiapa yang menjadikan Al-Qur’an selalu didepannya niscaya Al-Qur’an membawanya menuju surga. Dan barang siapa menjadikan Al-Qur’an dibelakangnya,niscaya Al-Qur’an akan menyeretnya kedalam neraka.Al-Qur’an adalah sumber kemuliaan, kebahagiaan dan ketinggian martabat kaum muslimin di dunia dan akhirat. Allah SWT memuliakan kita dengan banyak pahala , berkah, dan keutamaan saat membacanya.Al-Qur’an adalah zikir paling utama dibandingkan zikir – zikir yang lainnya. Karena itu, seyogyanya setiap muslim selalu membaca dan menjaganya dalam setiap keadaan.
Sahabat MQ yang luar biasa marilah kita bersama – sama saling mengingatkan dan memberi semangat kepada saudara – saudara muslim kita untuk selalu mengagungkan Al-Qur’an. Semoga bermanfaat ^_^
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb

SURAH AL-INSYIRAH

“KEIARANGAN”

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Surah ini berkaitan erat dengan surah sebelumnya, dan sebagian mufasir menganggapnya sebagai sambungan langsung dari Surah al-Dhuha. Bagaimana pun juga, surah ini ditujukan kepada Nabi dan diperluas kepada semua orang yang mengikuti jejak langkah Nabi.
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
1. Bukankah Kami telah melapangkan dadamu untukmu?
Syaraha berarti 'membukakan, menyingkapkan, menjelaskan, menerangkan atau menampakkan,' dan 'melapangkan'. Syaraha juga berarti 'memotong'. Dalam dunia bedah, kata tasyrih berarti pemotongan.
Shadara berarti 'kembali dari pengairan, melanjutkan, memancar, keluar', dan shadr adalah 'dada, payudara atau peti'. Jika seseorang mengatakan ia ingin 'mengambil sesuatu dari dadanya', maka sesuatu ini, tentu saja, bukan obyek fisik. Melainkan, sesuatu yang sudah ia kenakan sendiri pada dirinya, sehingga ia merasa terhimpit atau terbebani, seolah-olah ia tidak bisa lagi bernapas dengan bebas. Dengan melepaskan diri dari beban ini, dengan 'melapangkan' diri, maka yang jauh menjadi dekat dan yang sulit menjadi mudah.
Syarh (uraian terperinci, penjelasan) yang utama adalah berupa pengetahuan, penyaksian langsung bahwa yang ada hanyalah Allah. Itulah syarh yang terakhir; tidak ada apa-apa di luar itu. Tidak ada kelegaan di luar penyaksian langsung.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada Nabi, namun ia berlaku kepada semua orang. Beban kebodohan digantikan dengan beban kenabian, tapi beban tersebut menjadi ringan karena berbagai rahasia alam semesta telah diungkapkan kepadanya.
وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ
2. Dan mengangkat bebanmu dari (pundak)mu,
Wazara, akar dari wizr (beban, muatan berat), adalah 'memikul atau menanggung (suatu beban)'. Dari kata tersebut muncul kata wazir artinya 'menteri, wakil, konselor', yakni, seseorang yang membantu penguasa atau raja untuk memikul beban negara. Maksud ayat ini adalah bahwa kita dibebaskan dari tanggung jawab apa pun selain daripada sebagai hamba Pencipta kita. Jika kita sungguh-sungguh memahami penghambaan, maka kita tidak lagi terbebani seperti sebelumnya tapi kita malah hanya melaksanakan tanggung jawab dan kewajiban kepada Allah, tanpa menambah beban lagi kepada diri kita.
الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ
3. Yang telah memberatkan unggungmu?
Lagi-lagi ini merupakan penjelasan metaforis. Ada di antara kita yang nampaknya memikul beban berat, meskipun, sebenarnya, tidak ada beban yang bersifat permanen. Jika kita selalu ingat akan Allah (zikrullah), sadar bahwa pada suatu saat napas kita bisa berhenti, dan bahwa kita akan segera kembali menjadi debu, maka kita pun akan sadar bahwa yang dapat kita lakukan saat ini hanyalah menghamba dan berusaha berbuat sebaik-baiknya. Tidak ada yang harus kita lakukan selain dari itu. Secara tidak sengaja mungkin kita telah mengundang kesulitan di dunia ini, namun kesulitan dunia ini tetap akan datang dan menemukan kita. Jika kita tidak memperdulikan orang fi sabilillah (di jalan Allah), jika kita tidak membantu orang, melayani dan membimbing mereka, maka berbagai kesulitan akan menimpa kita.
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
4. Dan meninggikan untukmu sebutan kamu?
Ini berkenaan dengan zikir lahiriah Nabi. Kita tidak bisa melakukan zikir lahiriah yang lebih tinggi dari Nama Allah. Zikir batiniah Nabi merupakan kesadaran beliau yang tak henti-henti, berkesinambungan, dan tidak terputus terhadap Penciptanya. Zikir Nabi terhadap Penciptanya memiliki kedudukan paling tinggi karena di antara ciptaan Allah beliaulah yang paling dekat kepada-Nya.
Ketika Nabi berzikir, zikimya diangkat lebih tinggi sehingga zikir Nabi berada di urutan paling tinggi; kehidupannya sendiri merupakan zikrullah.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
5. Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan,
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
6. Sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan.
Dua ayat ini memberikan penjelasan khusus mengenai 'sang' kesulitan, yakni 'bersama kesulitan ada kemudahan', yang menunjukkan bahwa hanya ada satu kesulitan. Ini berarti bahwa pada setiap kesulitan ada dua kemudahan atau solusi. Solusi pertama adalah bahwa kesulitan akan berlalu: ia tidak bisa berlalu dengan sendirinya, tapi akhirnya ia akan berlalu karena lambat laun kita pergi darinya melalui kematian. Solusi kedua adalah bagi pencari sejati; solusinya terletak dalam pengetahuan tentang proses awal terjadinya kesulitan kemudian melihat kesempumaan di dalamnya.
Umpamanya, seseorang bisa saja melakukan kesalahan dengan memasuki areal proyek pembangunan yang berbahaya sehingga kepalanya tertimpa sesuatu. Ia mungkin saja tidak menyadari berbagai faktor yang terkait dengan kecelakaannya, apakah orang lain bermaksud mencelakakannya atau tidak, tapi yang jelas ia akan mengalami musibah itu. Begitu ia mengetahui bagaimana musibah itu terjadi, betapa sempurna kejadiannya! Kepalanya akan terluka, tapi itu pun akan sembuh: itu adalah kemudahan lain. Bersamaan dengan sulitnya merasakan pemisahan muncul pertolongan untuk mengetahui bahwa kita berhubungan.
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
7. Maka jika engkau sudah bebas, tetaplah tabah bekerja keras!
Makna syari’ (lahiriah) dari ayat ini adalah bahwa begitu kita selesai berurusan dengan dunia dan dengan segala tanggung jawab kita di dalamnya, hendaknya kita bersiap-siap untuk mencari pengetahuan langsung tentang Realitas Ilahi. Menurut penafsiran golongan ahl al-Bayt tentang ayat ini, bila kita selesai menunaikan salat-salat formal kita, maka hendaknya kita melanjutkan ke tahap berikutnya, yakni begadang sepanjang malam melaksanakan salat lagi, zikir dan belajar. Bila kita sudah menyelesaikan segala kewajiban kita terhadap penciptaan dan terhadap Pencipta kita, maka hendaknya kita berbuat lebih, dan mencurahkan diri kita sepenuhnya. Perjuangan dan upaya batin ini adalah makna harfiah dari kata jihad, yang hanya dalam peristiwa tertentu saja menjadi 'perang suci'.
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
8. Dan jadikanlah Tuhanmu sebagai tujuan [kerinduan] engkau semata!
Ketika kita mempraktikkan hasrat keingintahuan kita, bila kita menginginkan pengetahuan, maka kita akan menjadi pengetahuan, persis sebagaimana kita mempraktikkan kemarahan, maka kita pun akan menjadi kemarahan. Begitu kita meletakkan dasar-dasar yang perlu untuk menunaikan segala kewajiban kita, maka kita pun sah untuk menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan kita. Bagaimana pun, menunaikan kewajiban kita terlebih dahulu adalah penting, karena, kalau tidak kita akan melaksanakan keinginan untuk melarikan diri.[]

At-Tiin (At-Tin)

Artinya : Buah Tin (The Fruit of Fig)
Surat ke 95 = 8 Ayat   (diwahyukan di Mekah)


wattiini wazzaytuun
[95:1] Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,
[95:1] I swear by the fig and the olive,

wathuuri siiniin
[95:2] dan demi bukit Sinai,
[95:2] And mount Sinai,

wahaadzaa lbaladi l-amiin
[95:3] dan demi kota (Mekkah) ini yang aman,
[95:3] And this city made secure,

laqad khalaqnaa l-insaana fii ahsani taqwiim
[95:4] sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
[95:4] Certainly We created man in the best make.

tsumma radadnaahu asfala saafiliin
[95:5] Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
[95:5] Then We render him the lowest of the low.

illaalladziina aamanuu wa'amiluu shshaalihaati falahum ajrun ghayru mamnuun
[95:6] kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
[95:6] Except those who believe and do good, so they shall have a reward never to be cut off.

famaa yukadzdzibuka ba'du biddiin
[95:7] Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?
[95:7] Then who can give you the lie after (this) about the judgment?

alaysallaahu bi-ahkami lhaakimiin
[95:8] Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
[95:8] Is not Allah the best of the Judges?

Halaman ke -»   1
Ada 8 Ayat pada Surat At-Tiin (At-Tin)

Rabu, 25 Januari 2012

Iman Kepada Malaikat, Menuju Umat Terbaik

Rukun akidah yang kedua setelah iman kepada Allah, adalah iman kepada adanya malaikat. Iman kepada malaikat lebih didahulukan daripada iman kepada nabi dan rasul, hal ini dikaitkan dengan salah satu fungsi utama malaikat, yaitu sebagai penyampai wahyu Allah kepada nabi-Nya.
Salah satu dalil untuk mengetahui keberadaan malaikat adalah melalui berita yang mutawatir (akurat), dan satu-satunya berita yang paling akurat adalah berita yang dibawa Nabi Muhammad SAW, yaitu Al Qur’an. Dalam Al Qur’an masalah malaikat disebutkan lebih dari 75 kali, tersebar dalam 33 surat .
Iman kepada malaikat merupakan bagian dari akidah. Apabila hal itu hilang, gugurlah keIslaman seseorang.
"… Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (An Nisaa’ : 136)
Untuk mengenal malaikat, maka kita perlu mengenal sifat-sifatnya, yang dapat kita ketahui melalui Al Qur’an. Sifat-sifat malaikat tersebut antara lain :
  1. Malaikat diciptakan dari cahaya.
  2. "Para malaikat diciptakan Allah dari cahaya, dan diciptakan-Nya jin dari api, sedangkan Adam diciptakan dari apa yang dijelaskan pada kalian." (HR. Muslim dari Aisyah r.a.)
    Karena malaikat diciptakan dari cahaya, maka mereka tentu mewarisi sifat cahaya, sebagaimana manusia mewarisi sifat tanah. Para malaikat tidak bisa kita lihat, dan mampu bergerak secepat cahaya.
  3. Malaikat mempunyai kemampuan yang luar biasa dengan ijin-Nya.
  4. Diantara kemampuan malaikat, mereka bisa berubah wujud, bahkan mampu mengangkat singgasana (‘arsy) Allah.
    "…Dan, pada hari itu delapan malaikat menjunjung ‘Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka." (Al Haqqah : 16)
  5. Para malaikat diciptakan sebelum penciptaan manusia.
  6. Hal ini nampak dengan jelas tersirat pada surat Al Baqarah 30;
    "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpankan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
  7. Malaikat selalu patuh dan taat kepada Allah.
  8. Mereka senantiasa bertaqarrub kepada Allah dan sangat takut kepada-Nya.
    "Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah daan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud." [Al A’raf : 206]
  9. Malaikat dijadikan Allah sebagai penyampai wahyu kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
  10. "Dia menurunkan para malaikat dengan membawa wahyu dengan perintahNya, kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya; ‘Peringatkanlah olehmu sekalian bahwasanya tidaak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku’."(An Nahl : 2)
  11. Diantara para malakiat ada yang bertugas menyertai manusia.
  12. Salah satu tugas malaikat tersebut adalah mencatat perbuatan orang-orang mukallaf, tanpa lalai sedikit pun.
    "(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lainnya duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." [QS. Qaaf: 17-18]
    Selain itu ada pula malaikat yang menjaga kita dari bencana atau dampak negatif.
    "Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah…"[Ar-Ra’d : 11]
  13. Jumlah malaikat sangatlah banyak, tiada yang mengetahui kecuali Dia.
" …Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri …" [Al Muddatstsir : 31]
Bahkan dalam sebuah hadits shahih, dikisahkan Rasulullah bersabda : "Bisinglajh (suasana) di langit, dan memang sudah semestinya demikian, Tidaklah ada tempat pijakan telapak kaki kecuali terdapat padanya malaikat bersujud atau beruku’." (HR, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ath Thabari, dsb.)
Setelah mengetahui sifat-sifat malaikat melalui berita yang sangat akurat tersebut (Al Qur’an dan Hadits), maka sebagai mukallaf, di pundak kita terdapat beban, konsekuensi dari pengimanan kita tersebut.
Melalui kebijaksanaan-Nya, Allah mengutus Rasul dari kalangan malaikat untuk menyampaikan wahyu kepada nabi, rasul dan orang-orang yang dikehendaki-Nya. Hikmah tersebut antara lain bahwa tidak setiap orang (terutama yang bukan dari golongan nabi dan rasul) mempunyai kekuatan untuk berhadapan langsung dengan Allah. Untuk bertatap muka dengan Allah, diperlukan kekuatan fisik dan mental yang sangat besar. Tidak semua rasul pernah bertemu dengan-Nya. Bahkan dalam sebuah kisah dikatakan, sebuah gunung hancur menjadi debu ketika Allah menampakkan wujud-Nya. Jadi sebagai hamba yang harus mengikuti perintah Allah, suatu kewajiban bagi kita untuk selalu bersyukur atas kebijaksanaan-Nya dalam penyampaian wahyu.
Hikmah lainnya adalah, kita sebagai khalifah sekaligus abdullah harus introspeksi, seberapa besar ketaatan dan kapatuhan kta kepad Allah, jika dibandingkan malaikat. Memang kita ketahui bahwa ketaatan malaikat sangatlah tinggi. Tapi ketaatan malaikat bersifat tetap, sedangkan ketakwaan dan keimanan manusia adalah dinamis. Mungkin suatu waktu kepatuhan kita rendah, tapi di lain waktu menjadi sangat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada para malaikat. Hal inilah yang harus kits capai. Memang bukan hal yang mudah, tapi bukan sesuatu yang ‘impossible’.
Salah satu caranya adalah kita harus sadar bahwa amal kita selalu diawasi Allah, baik secara langsung maupun melalui malaikat-Nya. Tidak ada sepermikrodetik pun yang lepas dari pengawasannya.
"…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat." [Asy Syuura : 11]
Oleh karena itu, kita harus mulai mengurangi perbuatan-perbuatan ynag tidak sesuai dengan perintah-Nya dan memperbanyak amsl baik kita, dengan selalu diniatkan untuk mengharap ridha-Nya.
Selain tiga hal tersebut, telah kita ketahui bahwa ada malaikat yang selalu menjaga kita dalam kebaikan. Untuk itu, kita harus mulai menghilangkan rasa takut di hati kita, terutama dalam mendakwahkan kalimat-kalimat Allah. Sebagai generasi muda, kewajiban kitalah untuk menolng agama Allah.
"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." [Muhammad : 7]
Menolong agama Allah berati mendakwahkan Islam. Tidak hanya kepada yang belum tahu, tapi juga yang sudah tahu. Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban setiap muslim. Sebagai penutup, saya sampaikan ayat yang menjadi pedoman sekaligus tujuan bagi kita semua.
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah..." [Ali Imran : 110]

Arti Iman Kepada Allah



Arti Iman Kepada Allah

Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan dalam kalimat :
أشهد أن لاإله إلا الله
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”
Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan perbuatan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
Rukun Iman yang pertama adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam. Orang yang akan memeluk agama Islam terlebih dahulu harus mengucapkan kalimat syahadat. Pada hakekatnya kepercayaan kepada Allah SWT sudah dimiliki manusia sejak ia lahir. Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya kepada Allah SWT sejak ia berada di alam arwah.  Firman Allah SWT :
وإذ اخذ ربك من بني أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على انفسهم الست بربكم قالوا بلى شهدنا
“Dan ingatlah, ketika TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi.” (QS. Al-A’raf : 172)
Jauh sebelum datangnya agama Islam, orang-orang jahiliyah juga sudah mengenal Allah SWT. Mereka mengerti bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah adalah dzat yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Qur’an :
ولئن سألتهم من خلق السموت والأرض ليقولن خلقهن العزيز العليم
“Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab : “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf : 9)
Manusia memiliki kecenderungan untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa itu adalah dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat yang mengatur alam semesta ini sudah pasti berada di atas segalanya. Akal sehat tidak akan menerima jika alam semesta yang sangat luas dan teramat rumit ini diatur oleh dzat yang kemampuannya terbatas. Sekalipun manusia sekarang ini sudah dapat menciptakan teknologi yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur alam raya ini. Dengan kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat menghentikan barang sedetik pun bumi untuk berputar.
Dzat Allah adalah sesuatu yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat memikirkan dzat Allah. Oleh sebab itu mengenai adanya Allah SWT, kita harus yakin dan puas dengan apa yang telah dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-bukti berupa adanya alam semesta ini.
Ketika Rasulullah SAW endapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang berusaha memikirkan dan mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau melarang mereka untuk melakukan hal itu. Rasulullah SAW bersabda :
عن ابن عباس أن قوما تفكروا فى الله عزوجل وقال النبي صلى الله عليه وسلم تفكروا فى خلق الله ولا تفكروا فى ذات الله (رواه ابو الشيخ)
“Dari Ibnu Abbas RA, diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang (hakekat) dzat Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda : “Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan (hakekat) dzat Allah.” (HR. Abu Asy-Syaikh)
Sebagai perwujudan dari keyakinan akan adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah pengabdian kita kepada Nya. Pengabdian kita kepada Allah adalah pengabdian dalam bentuk peribadatan, kepatuhan, dan ketaatan secara mutlak. Tidak menghambakan diri kepada selain Allah, dan tidak pula mempersekutukan Nya dengan sesuatu yang lain. Itulah keimanan yang sesungguhnya. Jika sudah demikian Insya Allah hidup kita akan tentram. Apabila hati dan jiwa sudah tentram, maka seseorang akan berani dan tabah dalam menghadapi liku-liku kehidupan ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu disyukurinya. Sebaliknya setiap musibah dan kesusahan selalu diterimanya dengan sabar.

Dasar Beriman Kepada Allah
a.       Kecenderungan dan pengakuan hati
b.      Wahyu Allah atau Al-Qur’an
c.       Petunjuk Rasulullah atau Hadits
Setiap manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk percaya kepada kekuatan ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan rasa kecenderungan hati secara fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati merupakan dasar iman. Namun dengan pengakuan hati tidak akan ada artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman anggota tubuh. Sebab antara pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman anggota tubuh merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai keimanan yang benar tidak hanya berdasarkan fitrah pengakuan hati nurani saja, tetapi harus dipadukan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Cara Beriman Kepada Allah SWT
Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam.
Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT :
a.       Bersifat Ijmali
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Qur’an sebagai suber ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT. Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.
b.      Bersifat Tafshili
Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah adanya “Asmaul Husna” yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan menghayati makna yang terkandung di dalamnya.


mengapa kita harus beragama?

"Dasar pertama agama (din) adalah mengenal-Nya."

    Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat banyak orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan baik. Padahal, mengenai agama seharusnya berada pada tahapan awal sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita, keberagamaan sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah, dalam kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama. Sehingga kita beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian, dan bukti).
    Allah Ta’ala berfirman : "Katakanlah (wahai Muhammad). Inilah jalan-Ku. Aku mengajak kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang nyata)" (QS Yusuf, 12 : 108).
    Namun sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya kami terlebih dulu membicarakan tentang din itu sendiri.

Apa itu Din ?
    Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Alquran disebutkan sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa (etimologi), din diartikan sebagai balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Alquran menyebutkan kata din dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja) Hari Pembalasan)." Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan sebagai ketaatan. Rasulullah Saww bersabda : "Ad-diinu nashiihah (agama adalah ketaatan)." Sedangkan menurut terminologi teologi, din diartikan sebagai : "sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun akhirat."
    Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi : (1) keyakinan (akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain lain saling berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan teraih di dunia dan di akhirat.         Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
    Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan mengimani beberapa perkara dengan kokoh dan kuat, sehingga keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari Akhirat.
    Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan. Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya.     Karena syariat merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
    Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang mendorong seseorang untuk mengindahkan norma-norma dan meninggalkan keburukan-keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan mutadayyin selagi tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu. Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak daripada syariat.
    Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain, yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama (ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.

Mengapa Kita Beragama ?
    Marilah kita kembali pada pertanyaan semula : "mengapa kita beragama ?"
    Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa dibanding makhluk-makhluk lainnya, termasuk malaikat. Karena, manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani/materi dan unsur ruhani/immateri. Memang dari unsur hewani manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak di antara binatang yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang dimiliki selain manusia.
    Sehubungan ini Allah Swt berfirman : "Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah" (QS An-Nisa, 4 : 28); "Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua." (QS Rum : 54). Masih banyak ayat lainnya yang menjelaskan hal serupa.
    Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga dengan penampilan fisiknya, di samping itu penampilan fisik adalah wahbi sifatnya (semata-mata penberian dari Allah, bukan hasil usahanya).
    Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia (lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu ayat Alquran ditegaskan : "Sungguh telah Kami muliakan anak-anak, Kami berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta Kami anugerahi mereka rezeki.     Dan sungguh Kami utamakan mereka di atas kebanyakan makhluk Kami lainnya." (QS Al-Isra, 17 : 70).
Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bilquwwah) yang perlu difaktualkan (bilfi’li) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu semata-mata karena hasil usahanya sendirinya.     Karenanya, dia berhak bangga atas yang lainnya. Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang, bahkan lebih hina dari binatang (QS Al-A’raf, 7 : 170; Al-Furqan : 42).
    Termasuk ke dalam unsur ruhan adalah fitrah. Manusia memiliki fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan sempurna. Din adalah bagian dari fitrah manusia.
    Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri manusia yaitu mencari kebenaran (hakikat), condong kepada kebaikan, condong kepada keindahan, berkarya (berkreasi), dan cinta (isyq) atau menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Ja’far Subhani, terdapat empat macam kecenderungan pada manusia, dengan tanpa memasukkan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari (kitab Al-Ilahiyyat, juz 1).
    Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia. Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk cenderung beragama , dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta ingin menyembah Pemilik kesempurnaan tersebut. Syeik Taqi Mishbah Yazdi, dalam kitab Ma’arif al-Qur’an juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya dua ciri fitrah, bik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian, manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya untuk menyebut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada Sesuatu yang menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
    Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun untuk menentukan siapa atua apa yang pantas dicintai dan disembah bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah Ta’ala berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus, sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan." (QS. Rum: 30).

Sekilas Teori-teori Kemunculan Agama
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan agama, antara lain:
1. Agama muncul karena kebodohan manusia
    Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena kebodohan manusia. August Comte—peletak dasar aliran     positivisme—menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya. Pada mulanya—periode primitif—karena manusia tidak mengetahui rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam kepada Dzat yang ghaib.
    Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai pada batas segala sesuatu terkuat dengan ilmu yang empiris, maka keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di tengah-tengah mereka.
Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama, seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya. Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh yang tidak beragama.

2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
    Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat, merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah ia meyakini adanya Tuhan. Jadi,takut merupakan akibat dari meyakini adanya Tuhan (baca: beragama).

3. Agama adalah produk penguasa
    Karl Marx—bapak aliran komunis-sosialis—mengatakan, bahwa agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan menerima keberadaan sosial-ekonomi. Mereka (rakyat tertindas) diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama, seperti harus sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya.
    Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi, sehingga tidak ada lagi (perbedaan antara) penguasa dan rakyat yang tertindas dan tidak ada lagi (perbedaan antara) si kaya dan si miskin, maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis-sosialis sebesar Uni Soviet pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya, sekalipun dengan cara kekerasan.

4. Agama adalah produk orang-orang lemah
    Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori ini mengatakan, bahwa agama hanyalah suatu perisai yang diciptakan oleh orang-orang lemah untuk membatasi kekuasaan orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan, belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini diperoleh Nietzche, seorang filsuf Jerman.

    Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah, bahwa tidak sedikit dari pembawa agama adalah para penguasa dan orang kuat—misalnya Nabi Daud dan Nabi Sulaiman—keduanya adalah raja yang kuat.
    Sebenarnya, mereka ingin menghapus agama dan menggantikannya dengan sesuatu yang mereka anggap lebih sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August Comte, kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis-sosialisme menurut Karl     Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan menyembah kesempurnaan adalah fitrah.
    Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum agamawan mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada Tuhan. Jadi, sebenarnya mereka (kaum Atheis) beragama dengan pikiran mereka sendiri. Atau dengan kata lain, mereka mempertuhankan diri mereka sendiri.

kenapa Rasulullah SAW menyuruh kita makan dan minum sambil duduk?


Dari Anas r.a. dari Nabi saw.: "Bahwa ia melarang seseorang untuk minum sambil berdiri. Qatadah berkata, "Kemudian kami bertanya kepada Anas tentang makan. Ia menjawab bahwa itu lebih buruk." Pada saat duduk, apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan. Adapun rasulullah saw pernah sekali minum sambil berdiri, maka itu dikarenakan ada sesuatu yang menghalangi beliau untuk duduk, seperti penuh sesaknya manusia pada tempat-tempat suci, bukan merupakan kebiasaan.... ....ingat hanya sekali karena darurat! Manusia pada saat berdiri, ia dalam keadaan tegang, organ keseimbangan dalam pusat saraf sedang bekerja keras, supaya mampu mempertahankan semua otot pada tubuhnya, sehingga bisa berdiri stabil dan dengan sempurna. Ini merupakan kerja yang sangat teliti yang melibatkan semua susunan syaraf dan otot secara bersamaan, yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai ketenangan yang merupakan syarat terpenting pada saat makan dan minum. Ketenangan ini bisa dihasilkan pada saat duduk, di mana syaraf berada dalam keadaan tenang dan tidak tegang, sehingga sistem pencernaan dalam keadaan siap untuk menerima makanan dan minum dengan cara cepat. Makanan dan minuman yang disantap pada saat berdiri, bisa berdampak pada refleksi saraf yang dilakukan oleh reaksi saraf kelana (saraf otak kesepuluh) yang banyak tersebar pada lapisan endotel yang mengelilingi usus. Refleksi ini apabila terjadi secara keras dan tiba-tiba, bisa menyebabkan tidak berfungsinya saraf (vagal inhibition) yang parah, untuk menghantarkan detak mematikan bagi jantung, sehingga menyebabkan pingsan atau mati mendadak. Begitu pula makan dan minum berdiri secara terus-menerus terbilang membahayakan dinding usus dan memungkinkan terjadinya luka pada lambung. Para dokter melihat bahwa luka pada lambung 95% terjadi pada tempat-tempat yang biasa berbenturan dengan makanan atau minuman yang masuk. Sebagaimana kondisi keseimbangan pada saat berdiri disertai pengerutan otot pada tenggorokkan yang menghalangi jalannya makanan ke usus secara mudah, dan terkadang menyebabkan rasa sakit yang sangat yang mengganggu fungsi pencernaan, dan seseorang bisa kehilangan rasa nyaman saat makan dan minum. Dari segi kesehatan. Air yang masuk dengan cara duduk akan disaring oleh sfringter. Sfringter adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada pos-pos penyaringan yang berada di ginjal. Nah. Jika kita minum berdiri. Air yang kita minum tanpa disaring lagi. Langsung menuju kandung kemih. Ketika langsung menuju kandung kemih, maka terjadi pengendapan disalurkan ureter. Karena banyak limbah-limbah yang menyisa di ureter. Inilah yang bisa menyebabkan penyakit kristal ginjal. Salah satu penyakit ginjal yang berbahaya. Susah kencing itu penyebabnya. Diriwayatkan ketika Rasulullah s.a.w. dirumah Aisyah r.a. sedang makan daging yang dikeringkan diatas talam sambil duduk bertekuk lutut, tiba-tiba masuk seorang perempuan yang keji mulut melihat Rasulullah s.a.w. duduk sedemikian itu lalu berkata: "Lihatlah orang itu duduk seperti budak." Maka dijawab oleh Rasulullah s.a.w.: "Saya seorang hamba, maka duduk seperti duduk budak dan makan seperti makan budak." Lalu Rasulullah s.a.w. mempersilakan wanita itu untuk makan. Adapun duduk bertelekan (bersandar kepada sesuatu) telah dilarang oleh Rasulullah sebagaimana sabdanya, "Sesungguhnya Aku tidak makan secara bertelekan" (HR Bukhari)

Hikmah kenapa kita dilarang makan dan minum sambil berdiri...


Ilmu kedokteran modern mengungkapkan bahwa minum dalam keadaan berdiri menyebabkan air yang mengalir berjatuhan dengan keras pada dasar lambung dan menumbuknya, menjadikan lambung kendor dan menjadikan pencernaan sulit. Sebagaimana terus-menerus makan dan minum sambil berdiri dapat menimbulkan luka pada dinding lambung. Penemuan ini menjelaskan kepada manusia bahaya yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits berikut ini. Read more: wisben.com on blogger: Diantara Hikmah Larangan Makan dan Minum Sambil Berdiri

Mengenal Makanan Haram

Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah bersabda: “Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda: ” Sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Dan firmanNya yang lain: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi ! Yaa Rabbi ! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya”. (HR Muslim no. 1015).
Jenis Makanan HARAM:
1. BANGKAI
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai ada beberapa macam sbb :
A. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.
B. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
C. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.
D. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim 3/22 oleh Imam Ibnu Katsir).
Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits:
“Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)
Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda:
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”: (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan 26 edisi 3/Th 11) Syaikh Muhammad Nasiruddin Al–Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): “Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)? Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya sedangkan Rasulullah bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya” (HR. Daraqutni: 538).
Adapun hadits tentang larangan memakan sesuatu yang terapung di atas laut tidaklah shahih. (Lihat pula Al-Muhalla (6/60-65) oleh Ibnu Hazm dan Syarh Shahih Muslim (13/76) oleh An-Nawawi).
2. DARAH
Yaitu darah yang mengalir sebagaimana dijelaskan dalam ayat lainnya:
“Atau darah yang mengalir” (QS. Al-An’Am: 145) Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa’id bin Jubair. Diceritakan bahwa orang-orang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. Oleh karena itulah, Allah mengharamkan darah pada umat ini. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/23-24).
Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar di atas tadi. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih.Semuanya itu hukumnya halal.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir. Adapun sisa darah yang menempel pada daging, maka tidak ada satupun dari kalangan ulama’ yang mengharamkannya”. (Dinukil dari Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461 oleh Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan).
3. DAGING BABI
Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam al-Qur’an, hadits dan ijma’ ulama.
4. SEMBELIHAN UNTUK SELAIN ALLAH
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhlukNya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.
5. HEWAN YANG DITERKAM BINATANG BUAS
Yakni hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagiannya kemudia mati karenanya, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Orang-orang jahiliyah dulu biasa memakan hewan yang diterkam oleh binatang buas baik kambing, unta,sapi dsb, maka Allah mengharamkan hal itu bagi kaum mukminin.
Adapun hewan yang diterkam binatang buasa apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar’i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.
6. BINATANG BUAS BERTARING
Hal ini berdasarkan hadits : “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” (HR. Muslim no. 1933)
Perlu diketahui bahwa hadits ini mutawatir sebagaimana ditegaskan Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/118-119) Maksudnya “dziinaab” yakni binatang yang memiliki taring atau kuku tajam untuk melawan manusia seperti serigala, singa,anjing, macan tutul, harimau,beruang,kera dan sejenisnya. Semua itu haram dimakan”. (Lihat Syarh Sunnah (11/234) oleh Imam Al-Baghawi).
Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah. (lihat At-Tamhid (1/111) oleh Ibnu Abdil Barr, I’lamul Muwaqqi’in (4-356) oleh Ibnu Qayyim dan As-Shahihah no. 476 oleh Al-Albani.
Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): “Saya tidak mengetahui persilanganpendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama’pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikianpula anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang….”.
Para ulama berselisih pendapat tentang musang. Apakah termasuk binatang buas yang haram ataukah tidak ? Pendapat yang rajih bahwa musang adalah halal sebagaimana pendapat Imam Ahmad dan Syafi’i berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Abi Ammar berkata: Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ? Jawabnya: “Ya”. Lalu aku bertanya: apakah boleh dimakan ? Beliau menjawab: Ya. Aku bertanya lagi: Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah ? Jawabnya: Ya. (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa’i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al- Baihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
Lantas apakah hadits Jabir ini bertentangan dengan hadits larangan di atas? ! Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/120) bahwa tidak ada kontradiksi antara dua hadits di atas. Sebab musang tidaklah termasuk kategori binatang buas, baik ditinjau dari segi bahasa maupun segi urf (kebiasaan) manusia. Penjelasan ini disetujui oleh Al-Allamah Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (5/411) dan Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3-28)
7. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM
Hal ini berdasarkan hadits : Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam” (HR Muslim no. 1934)
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”
8. KHIMAR AHLIYYAH (KELEDAI JINAK)
Hal ini berdasarkan hadits:
“Dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) dalam riwayat lain disebutkan begini : “Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda. (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa’i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811).
Dalam hadits di atas terdapat dua masalah :
Pertama : Haramnya keledai jinak. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama. (Lihat Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani).
Kedua : Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi’i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritass ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas. Ibnu Abi Syaiban meriwayatkan dengan sanadnya yang sesuai syarat Bukhari Muslim dari Atha’ bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij: ” Salafmu biasa memakannya (daging kuda)”. Ibnu Juraij berkata: “Apakah sahabat Rasulullah ? Jawabnya : Ya. (Lihat Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan’ani).
9. AL-JALLALAH
Hal ini berdasarkan hadits :
“Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki. (HR. Abu Daud no. 2558 dengan sanad shahih).
“Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya.” (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
“Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya”(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Maksud Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. (Fahul Bari 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: “Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya…”
Hukum jalalah haram dimakan sebagaimana pendapat mayoritas Syafi’iyyah dan Hanabilah. Pendapat ini juga ditegaskan oleh Ibnu Daqiq Al-’Ied dari para fuqaha’ serta dishahihkan oleh Abu Ishaq Al-Marwazi, Al-Qoffal, Al-Juwaini, Al-Baghawi dan Al-Ghozali. (Lihat Fathul Bari (9/648) oleh Ibnu Hajar).
Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya hahal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu. Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan (9/648): “Ukuran waktu boelhnya memakan hewan jalalah yaitu apabila bau kotoran pada hewan tersebut hilang dengan diganti oleh sesuatu yang suci menurut pendapat yang benar.”. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar (7/464) dan Al-Albani dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah (3/32).
10. AD-DHAB (HEWAN SEJENIS BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA
Berdasarkan hadits: “Dari Abdur Rahman bin Syibl berkata: Rasulullah melarang dari makan dhab (hewan sejenis biawak). (Hasan. HR Abu Daud (3796), Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa Tarikh (2/318), Baihaqi (9/326) dan dihasankan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/665) serta disetujui oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 2390).
Benar terdapat beberapa hadits yang banyak sekali dalam Bukhari Muslim dan selainnya yang menjelaskan bolehnya makan dhob baik secara tegas berupa sabda Nabi maupun taqrir (persetujuan Nabi). Diantaranya , Hadits Abdullah bin Umar secara marfu’ (sampai pada nabi) “Dhab, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya.” (HR Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943)
11. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH
“Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam. ” (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz “kalajengking: gantinya “ular” )
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): “Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan” (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
“Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak” (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)” “Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya”.
12. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH
“Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). Imam Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” (Lihat Al-Majmu’ (9/23) oleh Nawawi).
Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya. (Lihat Subul Salam 4/156, Nailul Authar 8/465-468, Faaidhul Qadir 6/414 oleh Al-Munawi). “Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya. (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa’i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
Haramnya katak secara mutlak merupakan pendapat Imam Ahmad dan beberapa ulama lainnya serta pendapat yang shahih dari madzab Syafe’i. Al-Abdari menukil dari Abu Bakar As-Shidiq, Umar, Utsman dan Ibnu Abbas bahwa seluruh bangkai laut hukumnya halal kecuali katak (lihat pula Al-Majmu’ (9/35) , Al-Mughni (13/345), Adhwaul Bayan (1/59) oleh Syaikh As-Syanqithi, Aunul Ma’bud (14/121) oleh Adzim Abadi dan Taudhihul Ahkam (6/26) oleh Al-Bassam)
13. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM
Sejauh ini BELUM ADA DALIL dari Al Qur’an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya “asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam :
KEPITING – hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha’ dan Imam Ahmad.(Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm).
KURA-KURA dan PENYU – juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha’, Hasan Al-Bashri dan fuqaha’ Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84).
ANJING LAUT – juga HALAL sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe’i, Laits, Syai’bi dan Al-Auza’i (lihat Al-Mughni 13/346).
KATAK/KODOK – hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapt yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas.

kesimpulan :
itu semua adalah makanan yang

Share This